Kamis, 27 Februari 2014

Feminisme marxis dan analisis gender dalam perubahan sosial




BAB I
                             PENDAHULUAN
                                                                          
A.    Latar belakang
Kita selalu terkukung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir ditengah-tengah percakapan, gurauan, dan sering juga menjadi akar perselisihan. Gender juga dapat menjelaskan semuanya ; mulai dari gaya mengemudi hingga kepilihan makan. Pengaruh gender tertanam kuat didalam berbagai institusi, tindakan, keyakinan, dan keinginan kita sehingga sering kali dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Feminis berangkat dari kesadaran akan diskriminasi ketidaksetaraan ataupun ketidakadilan. Mereka berbeda dalam membangun argumen mengapa ketidakadilan atau kesetaraan terjadi dan bagaimana strategi untuk menghentikannya. Mulai memfokuskan pada analisis bahwa sala satu dari berbagai teori yang dianggap Sebagai sumber ketidakadilan maupun ketidaksetaraan atau bahkan kesengsaraan terhadap kaum perempuan itu merupakan implikasi dari kebijakan pembangunan dan kebijakan negara. Ketika itulah feminisme tidak hanya sebagai teori kritik serta kegiatan pemikiran dan ideologi melainkan juga telah memproduksi teori perubahan sosial dan menjadi salah satu kritik pembangunan.
Teori modernisasi dan pembangunan tentang kaum perempuan pada dasarnya bersumber pada asumsi kaum liberal pada umumnya yang sejak awal perempuan lebih dianggap sebagai masalah bagi ekonomi modern dari pada laki-laki.
Dalam persfektif Neo-Marxian Kellner yakni kunci untuk memahami globalisasi adalah dengan meneorikannya sekaligus sebagai reproduksi revolusi teknologi global atas kapitalisme. Artinya bahwa perubahan tersebut terkait erat dengan faktor-faktor politik dan sosial. Selain marxisme atau para ilmuan menaruh simpati terhadap masyarakat disamping itu juga melakukan perubahan dengan kata lain sosialisme ilmiah.




B.     Rumusan masalah
Adapun masalah-masalah yang saya rumuskan dalam makalah ini adalah sbb :
1.      Bagaimana Pengertian Gender?
2.      Bagaimana Feminisme Marxis dan perubahan sosial?
3.      Bagaimana Analisis gender dan teori perubahan sosial?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sbb :
1.      Sebagai refrensi bagi mahasisiwa dalam mata kuliah persfektif global
2.      Mengetahui pengertian gender
3.      Memahami feminisme marxis dan perubahan sosial
4.      Mengetahui dan memahami bagaimana analisis gender dan teori perubahan sosial.





















BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pengertian Gender
Disadari bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat sehingga menimbulkan berbagai penafsiran dan respon yang tidak proporsional tentang gender. Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya kesenjangan gender adalah bermacam-macamnya tefsiran tentang pengertian tentang gender.
Untuk dapat memahami konsep gender maka harus dapat dibedakan antara gender dengan seks. Seks merupakan pembagian 2 jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu sedangkan istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller ( 1968 ) untuk memisahkan pencarian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. ( Mansour Faqih, Analisis gender dan transformasi sosial, pustaka pelajar, yogyakarta, 1999, hlm 8 ).
Kantor menteri negara pemberdayaan perempuan RI mengartikann gender adalah peran-peran sosial yang dikonstrusikan oleh masyarakat serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan . oleh karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstrukrur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan kata lain gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat.
Gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya dari waktu ke waktu. Ada 2 elemen gender yang bersifat universal yaitu : yang pertama; gender tidak identik dengan jenis kelamin. Kedua; gender merupakan dasar dari pembagian kerja disemua masyarakat. ( Gallery, 1987 ).
Sedangkan konsep gender lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Faqih dalam bukunya analisis gender dan tranformasi sosial adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Timbulnya kerancuan pemutarbalikan makna mengenai perbedaan gender dan seks merupakan suatu masalah yaang perlu dijernihkan. Belakangan ini timbul pemahaman di masyarakat yang tidak pada tempatnya, dimana gender yang ada pada dasarnya merupakan konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat ( ketentuan Tuhan ). Sebaliknya dengan dewasa ini yang sebagian besar dianggap sebagai kodrat khususnya bagi kaum wanita adalah konstruksi sosial dan kultural.kelamin merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial. Gender membangun sifat biologis dari yang tadinya brsifat alami kemudian melebihkannya. ( Sugihastuti, itsna hadi, gender dan inferioritas perempuan, pustaka pelajar, yogyakarta, 2007, hlm 5 ).
Dari berbagai definisi diatas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa gender adalah suatu konstruksi/bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehimgga dapat dibentuk/diubah tergantung dari tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karena itu, gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif. Sedangkan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan yang berlaku dimana saja yang tidak dapat berubah dan dipertukarkan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. ( Dr. Riant Nugroho, gender dan strategi pengarus utamaannya di Indonesia, pustaka pelajar, yogyakarta, 2008, hlm 8 ).










B.     Feminisme Marxis dan perubahan sosial
Pendirian dasar penganut Marxisme adalah bahwa women question harus diletakkan sebagai bagian dari kritik terhadap kapitalisme, terutama pada sistem mode produksi. Dengan demikian ketika ketika berbicara tentang posisi kaum perempuan, penganut paham Marxisme mempunyai asumsi bahwa rendahnya kaum status perempuan bersumber pada struktur produksi. Sementara itu, Marx memang sedikit sekali berbicara soal kaum perempuan dalam sistem kapitalisme.
Kajian kaum feminis Marxis umumnya didasarkan pada teori Engels tentang sejarah para-kapitalisme. Engels dalam uraian tersebut menjelaskan bahwa sejarah jatuhnya status perempuan bukanlah disebabkan oleh perubahan teknologi melainkan karena perubahan organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap yakni satu masa awal penciptaan “ surplus “ adalah dasar munculnya private property yang kemudian manjadi dasr dari perdagangan dan produksi untuk exchange. Karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan sebagai akibatnya perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. ( Dr. Mansour Faqih, Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2001, hlm 153-154 ). 
Kegagalan untuk mengintegrasikan kaum perempuan dalam sistem ekonomi dianggap sebagai kesalahan proses difusi dan juga akibat makro sistem eksploitasi dan ketergantungan. Oleh karena anggapan bahwa penyebab penindasan kaum perempuan adalah struktural-yakni sejak awal munculnya sisitem private property dan mode of producuction untuk akumulasi kapital dan divisi buruh internasional maka penyelesaiannya sama yakni revolusi atau putuskan hubungan dengan sistem kapitalis internasional.
Ternyata setelah revolusi jaminan untuk keadilan antara laki dan permpuan kembali lagi terkurung dalam sektor domestik. Atas dasar itulah persoalan publik dan domestik menjadi topik bahasan feminis marxis juga, seperti kata Margaret Leahy , mengutip Engels “ hanya jika urusan mengurus rumah tangga ditransformasi menjadi industri sosial, dan urusan menjaga dan mendidik anak juga jadi urusan umum, maka kaum perempuan tidak akan mencapai kesetaraan yang sejati. “ pandangan ini dilanjutkan oleh Largulia dan Demoulin yang menyatakan bahwa emansipasi kaum perempuan terjadi jika hanya kaum perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti dari urusan rumah tangga, dan proses itu terjadi pada saat ini hanya melalui industrialisasi.
Dengan demikian, penganut penganut Marxis percaya bahwa status kaum perempuan akan berubah hanya melalui revolusi sosial dan penghapusan pekerjaan domestik. Seperti model liberal, Marxisme juga menerima pandangan bahwa teknologi akan membebaskan kaum perempuan.

C.     Analisis gender dan teori perubahan sosial.
Berbeda dengan pendekkatan women in development yang pada dasarnya merupakan persfektif feminisme satu dekade pertama pembangunan perempuan PBB, ternyata berbagai program peningkatan peran perempuan dianggap gagal untuk mengubah nasib berjuta-juta kaum perempuan dan ternyata banyak program pembangunan mempunyai dampak berbeda bagi kaum lelaki dan kaum perempuan. Pada saat itu mulailah timbul kesadaran baru bahwa pendekatan women in development atau pendekatan peningkatan peran wanita dalam pembangunan telah gagal membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan.
Atas dasar itulah suatu pendekatan baru yang tidak menyalahkan korban ketidakadilan dan yang selalu memfokuskan terhadap kaum perempuan mulai dikaji. Salah satu yang dianggap menjadi persoalan terletak bukan pada kaum perempuannya , melainkan pada ideologi yang dianut oleh baik lelaki maupun perempuan yang sangat berpengaruh dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, yakni bias gender dalam pembangunan. Akibat dari kebijakan pembangunan yang bias gender atau buta gender, banyak program pembangunan telah mempunyai dampak yang berbeda lelaki dan perempuan. Atas dasar itulah suatu diskursus tandingan terhadap women in development telah lahir yakni suatu pendekatan yang disebut sebagai gender and development yakni suatu pendekatan yang sepenuhnya menggunakan analisis gender.

 Analisis gender sebagai analisis sosial konflik memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi diberbagai tempat seperti tradisi masyarakat, keyakinan keagamaan, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan. Akibat bias gender yang tersembunyi pada pelaksana proyek pembangunan, misalnya jutaan perempuan secara tidak disengaja telah menjadi korban atau dikorbankan oleh proyek pembangunan tersebut. Kata gender sendiri adalah kata inggris yang berarti suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berperilaku.
Oakley ( 1972 ) dalam sex, gender and society memberi makna gender perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara lelaki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan di
Ciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang. Caplan ( 1987 ) dalam the cultural construction of sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara lelaki dan perempuan selain secara biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin akan tetap tidak berubah.
            Berbagai manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sbb : pertama, terjadi marginalisasi ( kemiskinan ekonomi ) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan tersingkirkan dan menjadi miskin akibat dari program pertanian Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani lelaki.
            Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex, yang umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan. Misalnya anggapan “ karena toh nantinya perempuan akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi “ , adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan.
            Ketiga, adalah pelabelan negatif ( stereotype ) terhadap jenis kelamin tertentu terutama terhadap kaum perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabelkan dalam kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa lelaki adalah pencari nafkah ( bread winner ).
            Keempat, kekerasan ( violence ) terhadap jenis kelamin tertentu , umumnya perempuan , karena perbedaan gender. Kekerasan disini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan sampai kekerasan yang berbentuk lebih halus seperti pelecehan ( sexual harassment ) dan penciptaan ketergantungan.
            Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat terlebih-lebih bagi kaum perempuan yang juga bekerja diluar rumah.
            Kesemua manifestasi ketidakadilan gender tersebut diatas adalah saling berkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “tersosialisasi” kepada baik kaum lelaki dan kaum perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik lelaki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang diterima dan sudah tidak lagi dapat dirasakan adanya sesuatu yang salah . persoalan ini bercampur dengan kepentingan kelas, itulah mengapa justru banyak kaum perempuan kelas menengah yang sangat terpelajar justru ingin mempertahankan sistem dan struktur tersebut.
            Analisis gender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk memjelaskan sistem ketidakadilan sosial. Tanpa analisis gender, gerakan feminisme akan menjadi reduksionisme, yang lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi kaum perempuan belaka. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok permasalahannya atau persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil; baik lelaki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut.
Lebih lanjut, analisis gender ini memungkinkan gerakan feminisme memfokuskan pada relasi gender serta keluar dari pemikiran yang memfokuskan pada perempuan. Yang manjadi agenda utama setiap perubahan sosial tidak sekedar menjawab ‘kebutuhan praktis’ atau merubah kondisi kaum perempuan yakni memperjuangkan perubahan posisi kaum perempuan, termasuk konter hegemoni dan konter discourse terhadap ideologi gender yang telah mengakar pada keyakinan baik kaum perempuan maupun lelaki. ( Dr. Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka pelajar, yogyakarta, 2001, hlm 171-177 ).
           






















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa : gender mengacu ke peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Peran tersebut dipelajari, berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut budaya dan antar budaya. Identitas seksbiologi sebaliknya ditentukan oleh ciri-ciri genetika dan anatomis. Gender dengan pembangunan adalah suatu pendekatan yang berfokus kepada kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang menentukan bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi didalam, memperoleh manfaat, dan mengontrol sumber-sumber daya dan kegiatan proyek secara berbeda. Pendekatan ini merubah fokus yang semula pada perempuan sebagai kelompok relasi antara  dpermpuan laki-laki yang ditentukan secara sosial.
Asumsi gender ada lima asumsi yakni : Marginalisasi ( kemiskinan ekonomi ) terhadap kaum perempuan, Subordinasi, stereotype, violence ( kekerasan ), dan peran gender perempuan dalam pengelolaan rumah tangga. Dalam pandangan feminisme ada dua terminologi yang menggambarkan ruang aktivitas bagi perempuan yakni ruang domestik dan ruang publik. Dimana ruang domestik ini adalah aktivitas perempuan yang berkaitan dengan rumah tangga. Sedangkan ruang publik adalah aktivitas perempuan yang dilakukan diluar rumah, baik interksi dengan masyarakat sekitar maupun dalam lingkungan kerja.    






DAFTAR PUSTAKA

·         Dr. Faqih  Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1999
·         Dr.Nugroho  Riant. Gender dan Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008
·         Sugihastuti, Hadi Itsna Saptiawan. Gender dan Inferioritas Perempuan, Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007
·         Dr. Faqih Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001

1 komentar:

  1. Terimakasih atas pembacaan pada buku INSISTPress. Rehal buku akan diarsip dan dilink-an ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=864&lang=id

    BalasHapus